Flinders Street

❤️💡My Simple Thought, 8 July 2018

Pukul 4 sore dengan suhu 12 derajat celcius dengan angin semilir sejuk, langit biru cerah, menjadi saat tepat untuk sekedar menyusuri trotoar Flinders street. Pemandangan gedung tinggi-tua yang sedikit ditutupi oleh ranting pohon yang sedang minim daun menjadi tampak eksotik dan tak tahan bagi saya untuk tidak mengeluarkan smartphone dan meng-click icon camera. Dan tentu saja beberapa kali selfie dengan timer sambil mencoba fitur ‘bokeh’—blur di bagian belakang.

Meskipun tas sudah beranak karena belanja obat-obatan di toko farmasi tak mengurungkan niat untuk enjoy my afternoon time. Ibadah gereja masih pkl. 6.30 malam dan Joanna sedang ujian body balance. 

Gereja tua St. Paul’s Catedral megah indah dan setiap kali saya ke kota ini pasti melewatinya dan selalu ingin memotret walau dengan kegagahannya tetap sama. Kali ini saya masuk di cekungan taman rumputnya yang diisi dengan 3 bangku panjang dari besi pejal warna hijau satu gradasi lebih tua dari warna rumput. Ada beberapa cekungan, saya pilih yang bertuliskan “Ladies Only” di lantainya. Sudah ada seorang perempuan berambut blonde ikal yang duduk sambil bercakap seperti bahasa Rusia di telepon. Spot ini favorit, ada 7 keluarga/pasangan yang berfoto dalam 30 menit ini. Di belakang saya ada monumen patung Captain Matthew Flinders the navigator, pahlawan yang bahkan namanya dibuat jadi nama stasiun kereta dan nama jalan. 

Rumput lebat tanpa sampah hanya beberapa daun Maple 🍁 kering tertiup angin dan menjadikan ornamen coklat orange cantik. Beberapa burung menginjakkan kakinya di atas karpet alam ini. Burung ini terbang, berhenti, berjalan mendekat. Mereka tidak takut manusia, mungkin karena alam pun menjadi sahabat buat mereka. Saya kembali menunduk menulis dan saat mendongak tertangkap sepasang manusia lanjut usia berbeda jenis sedang menikmati sore ini juga. Saya tidak tahu apakah mereka suami isteri atau kakak adik, sebut saja Oma dan Opa, Si Opa mendorong kursi roda (lebih mirip baby stroller, sih) yang dinaiki dengan posisi terbalik sehingga keduanya berhadapan. Yang saya tangkap adalah rasa kedekatan, persahabatan. 

Di saat-saat seperti ini sungguh menjadi waktu berharga keluar dari rutinitas dan mencoba untuk hadir mengamati, yaa... sendiri, mengamati. Bahkan di tengah kota yang ramai dan sibuk ini, ada  rongga untuk ketenangan menyelinap. 

Terkejut! 
Orang duduk tiba-tiba mepet di sebelah, setengah berteriak, “Mummy, I passed!” Kami berpelukan, “Yuk, makan... laper banget, nih!” 
Nasi, ayam goreng bumbu serundeng, ikan asin, sayur asem, tempe, tahu goreng tepung, sambel terasi. Menu makan malam kami di restoran Indonesia di tengah kota Melbourne. Tebak berapa dollar?
Jadi pengen menghabiskan masa tua di kota nyaman nan tenang ini—sambil menulis dan buka restoran Indonesia. 
Yuk...

Penulis,
Giokni

https://giokni.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

MAYA ANGELOU

JIKA HABIS MASANYA

LEGACY (WARISAN)