JIKA HABIS MASANYA

 



JIKA HABIS MASANYA

Oleh Giokni

WTC Writer | Trainer | Coach


Saat berjalan pagi di Bogor, Sentul, atau dimana pun masih bisa “memeluk” alam sering saya bertemu dengan John Doe maupun Jane Doe. SI “JD” adalah nama yang diberikan oleh petugas Puslabfor jika korban meninggal tidak beridentitas. Kali ini John atau Jane Doe itu berupa serangga yang sudah terbujur kaku dan biasanya dengan posisi terbalik.  Ukuran mereka beragam, dari sekecil semut, laron hingga sebesar kecoa. 


Perjumpaanku dengan “the body” (tubuh, jasad) membawa pada refleksi tentang masa hidup dan saat mati. Berita tentang kematian karena Covid-19 sudah direkap menjadi angka dua atau tiga digit, tak lepas dari kesedihan dan kehilangan saat angka ke sekian itu adalah orang yang kita kenal dengan baik. Juga jelang akhir 2020 ada pula kematian tokoh pemilik bisnis besar yang masih muda, kuat, cerdas, dan dikenal luas, bahkan salah satu bukunya saya punya, hampir juga berkunjung untuk benchmark perusahaannya di Las Vegas. 


Dalam kitab Pengkotbah ada pernyataan bahwa segala sesuatu ada masanya, ada masa menabur ada masa menuai, ada masa menangis ada masa tertawa, ada masa dilahirkan ada masa meninggalkan. Saya memaknai “masa” sebagai “sesuatu” yang kosong bak selembar kertas putih. Kosong sehingga kita bisa menambahkan tulisan atau gambar di atasnya, itulah kesempatan atau pedagang menyebutnya sebagai modal. Selembar artinya ada batasan. Nah, masa adalah rentangan waktu, adalah selembar kertas yang tentu saja memiliki batas, sehingga bisa “habis”. Yang menjadikan penasaran adalah adanya teka-teki yang tidak ada yang bisa ngintip kunci jawabannya, yaitu berapa ukuran kertas masing-masing. 


Saat tak dinyana-nyana ternyata ukuran kertasnya hanya selebar post card, namun bersyukur karena sudah diceritakannya kabar dan pengalaman baik. Ada yang diberiNya ukuran kertas setengah folio dan berhasil digambari dengan indah walau ada beberapa bekas hapusan yang masih tampak. Ada pula yang berpuisi melalui rangkainan kata indah pada selembar kertas dobel folionya. Ada juga yang kertasnya selebar poster dan baru ada titik-titik kecil yang ditorehkan di sana namun jika dicermati titik-titik itu membentuk sebuah obyek yang tak kalah indah hanya saja pemiliknya belum sempat menghubungkan antartitik itu.


Sepanjang masa hingga detik ini, tulisan dan gambar sudah kutulis, ada yang indah, ada yang tercoret, ada tinta yang ‘mbleler’, ada kalanya warna gambarku menantang dan berani, namun ada kalanya hitam putih. Entah, kapan lembaran kertas itu terdefinisi sebagai “habis”. Yang kuperlukan adalah terus menggambar, menulis, dan terus melakukannya dengan baik dan lebih baik.


Saat membaca beberapa kisah orang-orang yang memang kertasnya “habis” atau merobek sendiri kertasnya, area perenunganku berucap.

  • Jalani hidup dengan tujuan (PURPOSE)
  • Nikmati hidup dengan keseimbangan (BALANCE) 
  • Bersyukur dengan penerimaan (BE GRATEFUL with ACCEPTANCE) 

Mudah? Tidak, perlu usaha! 

Aku pun mengajak diriku, “Yuk, terus belajar. Bantu aku Tuhan.”



My Simple Thought, 

21 January 2021

giokni@elevasi.id

WA 0811881610

www.elevasi.id


Comments

Popular posts from this blog

MAYA ANGELOU

MELAKUKANNYA DARI DEKAT