“TOPI” APA YANG KITA PAKAI?
❤️💡My Simple Thought, 19 September 2019
“TOPI” APA YANG KITA PAKAI?
Betapa saya masih belajar di banyak situasi… belajar tentang apa? tentang memilih “TOPI” YANG TEPAT UNTUK SAYA KENAKAN PADA SITUASI TERTENTU.
Situasi dan kondisi sangat tidak bisa kita prediksi dan di situlah tantangan bagi setiap orang untuk memilih “topi” yang paling tepat pada situasi tertentu. Topi berarti peran yang akan kita mainkan, respon yang kita ambil, sikap dan perkataan yang cocok pada sikon tertentu atau seseorang.
Terinspirasi dari episode final NCIS S-16, dengan Gibbs sebagai tokoh utamanya, sebuah adegan memunculkan “aha!” di benak saya sehingga tak sabar untuk menuju laptop,.. menulis! Fornell (sahabat Gibbs) adalah orang tua tunggal dari Emily yang ternyata terkait dalam kasus narkoba, isteri Fornell (Mama Emily) bernama Diane juga pernah menjadi isteri Gibbs (hmmm unik yaa.. ) memang sudah meninggal namun digambarkan Diane hadir imajinatif memberi beberapa petuah atau tantangan.
Sebagai satu-satunya orang yang membimbing Emily-mahasiswa-Fornell merasa sangat desperate (kelelahan, bingung) dalam menangani anak perempuannya yang memberontak dan kabur-kaburan. “Saya ngga sanggup menjadi pembimbingnya sendiri, saya butuh ibunya ada… “ keluh dan mohon seorang ayah-orang tua tunggal. Dan cliiinggg.. Diane muncul “Yang kauperlukan adalah… TANGGALKAN TOPI SEBAGAI TUKANG REPARASI, hanya TEMANI dia, kadang orang TIDAK BUTUH SOLUSI, orang butuh ada yang MENDENGARKAN.”
Hubungan saya dengan Joanna—puteriku—juga mengalami jatuh bangun, dulu saya sering gagal membangun rapport (kedekatan) karena pada saat dia menangis mengadukan problem yang dihadapi, saya bergegas mengenakan “topi” reparasi dan otak mencari solusi sehingga yang keluar dari mulut adalah nasihat dan petuah bahkan bisa jadi terkandung sikap menyalahkan di balik judul “analisis penyebab.” Apa akibatnya? Respon yang saya terima adalah “Males ahh, cerita sama Mummy, aku ini anak umur 18 tahun, Mum!!!” Pernah saya menerima respon keras ini.
Saya tertemplak dan saya belajar.. mengapa saya bersikap demikian? Sesungguhnya ada rasa cemas yang berlebihan, ada sikap perfeksionis yang saya ukurkan padanya, dan kurang merasakan berada di posisinya. Saya bersyukur juga punya anak yang asertif memberi feedback sehingga saya bisa memperbaiki diri dan bahkan sekarang menjadi orang yang dicari saat dia butuh curhat.
Saya masih belajar, saya mengintrospeksi diri… seringkali kalimat-kalimat yang bernada ingin MEREPARASI membuat orang terdekat kita jadi ILFEEL (ilang feeling) alias sudah enggan untuk curhat, mereka tidak nyaman bahkan takut karena kita pakai “helm proyek lengkap dengan palu besar seperti mau meluluhlantakkan rumahnya.”
Memang tidak mudah untuk menahan diri untuk tidak memberi solusi apalagi saya banyak memberi jasa consulting yang mana client memang membutuhkan solusi.
Pagi ini pada saat saya memfasiltasi sebuah training saya mengajak peserta mencari arti penting dari aktivitasnya. Sambil mingle (berkeliling) saya membaca pekerjaan mereka untuk memberi coaching sederhana, berhenti pada salah seorang peserta dan melihat hasil pekerjaannya, di otak saya sudah muncul penilaian (judgement) ‘janggal’ —versi saya--namun saya bersyukur karena saya menahan untuk tidak segera memakai “topi reparasi”, saya meminta dia memberi penjelasan lebih dan ternyata apa yang disampaikannya adalah sesuatu yang sangat mengena untuk dirinya, bahkan sambil terharu dan memeluk saya “Terima kasih, Bu.”. Bahkan sepanjang pengalaman memberi training (bukan sesi konseling), saya merasa bahwa ini salah satu pengalaman menyentuh hati seseorang.
Today… what a wish will I make?
“Give me a wisdom to put on the appropriate hat, quick to listen and embrace, slow to put on repair hat, less judging and more loving.”
Penulis,
Giokni
Trainer, Writer, Coach
0811881610
https://giokni.blogspot.com
Comments
Post a Comment