MELEPAS

 


MELEPAS

Oleh Giokni

WTC Writer | Trainer | Coach


Sore ini interaksi kecil via WA dengan seorang penulis kondang—Andrias Harefa. Dia menunjukkan foto beberapa buku berjejer rapi, buku tua namun “sakral” bagi penulis dan penyuka buku. Teksnya berbunyi “Gegara rayap terpaksa bongkar sana sini dan melepas sejumlah buku lama dg berat hati. Belajar melepaskan itu spiritual sekali ternyata 😭.” Menurut saya, emoji air mata meleleh itu tak main-main baginya. Ditambah dengan kata “belajar”, hoiii… ternyata yang perlu dipelajari itu bukan hanya cara menggunakan fitur “breakout” room pada zoom meeting atau memanggang marmer cake motif tiger yang antigagal, tapi melepas buku saja perlu belajar. 

Frasa terakhir mengandung kata “spiritual”, heiiii… mungkin selama ini kita berpikir spiritual adalah tentang tingkat kehadiran di gereja, taat sholat tanpa terlewat, berderma kepada yang papa, tapi spiritual itu juga tentang melepas buku.


Melepas lawan kata secara bebasnya menggapai, merenggut, mencapai, memperoleh. Dan banyak dari kita sepakat bahwa menggapai dan teman-temannya itu butuh perjuangan dan upaya besar. Namun, tindakan melepas seringkali jauuuuuuuuuh lebih menyesakkan dada, kedua belah tangan serasa ingin mendekap erat dan berteriak “Ini punyaku!!!”. 

Bahkan Saulus seorang ahli Taurat dan menjadi dewan kehormatan Sanhedrin, respeknya menempel pada jubahnya, namanya tersohor ke seluruh penjuru. Semua diperoleh dengan mudah? Tentu tidak! Dia murid seorang guru besar Gamaliel. Beratus bahkan beribu jam dipakainya untuk mempelajari detil tentang Taurat. Saat itu, semuanya adalah pencapaian! Kehormatan! Jubah kemuliaan!

Terjadilah peristiwa dimana dia melepaskan semua itu. Namanya menjadi Paulus, dia tak lagi mengejar dan menganiaya orang yang dianggapnya tak sealiran, dia mengosongkan dirinya, menjadi tukang tenda untuk mencari nafkah, berpindah-pindah tempat, mengalami kekurangan makan, bahkan belasan tahun pelayanan yang dilakukannya tak dianggap dan masih dicurigai sebagai “seseorang yang berbahaya”.

Saulus belajar dan lulus atas mata pelajaran “melepaskan”.


Kembali kepada foto Pak Andrias Harefa, apa yang dilepas? BUKU-BUKU!

Berapa rupiah harganya?

Di sinilah intinya, MELEPAS bukan soal berapa harga nominalnya.

Hingga perlu punya sikap BELAJAR karena memang tidak mudah dan ranahnya SPIRITUAL karena urusannya dengan HATI dan KEMELEKATANNYA pada sesuatu yang DISAKRALKAN.


Semakin digenggam erat, semakin perlu usaha untuk melepaskannya. 

Semakin melekat, jangan-jangan sudah membuat tak ada ruang bagi hal baik lain yang mau hadir dan memberi warna.


Melekat dan jatuh cinta itu bisa terjadi secara alami, namun sebuah keterampilan tingkat tinggi yang butuh kelapangan hati dan pola pikir “aku bukan yang kupunya”.

Butuh hening dan peka mendengar suara “Ikhlaskan, lepaskan”.


Thanks, Pak Andri, teks sederhana yang menggugahku untuk merenung. Apa saja yang aku belum lulus melepas? Atau kulepas tapi tak kudapati rasa ikhlas.

Kenyamanan pada jabatankah? Kenyamanan sebelum masa pandemikah? Kenyamanan karena ada seseorang di samping yang menemani? Mari kita menatap fakta dan berusaha sebisa kita, kali ini bukan untuk menggapai.


Sebelum malam bertandang, latihan kecil kita adalah melepas mengikhlaskan hari ini yang akan segera berganti.

Yuk…


My Simple Thought, 

16 September 2020

giokni@elevasi.id

www.elevasi.id


Comments

Popular posts from this blog

MAYA ANGELOU

MELAKUKANNYA DARI DEKAT

MAU JADI APA KITA NANTI SETELAH INI? (MJAKNSI?)