YANG KUBISA


 

YANG KUBISA  

Oleh Giokni

WTC Writer | Trainer | Coach


Kehadirannya perlahan menyusup. Lumrahnya respon atas peristiwa yang tidak mengenakkan, menyangkal! Awal tahun 2020 si Covid masih dianggap jauuuuuuh di Wuhan sana! “Dasar, orang jorok, makan kelelawar,” gunjingan orang.


Hari ke-2 di bulan Maret, Presiden Jokowi mengumumkan kasus nomor 1 dan nomor 2 di Indonesia. Kita mulai kaget tapi masih berkelit dengan “Ahh, itu khan karena ketemu orang Jepang itu bla bla bla blaa…” 

Hari demi hari dan secara berkala setiap hari diberitakan “Kasus nomor sekian, kasus nomor sekian.”

Dan hari ini, sudah tidak ada pembahasan kasus dengan nomor urut. Bisa dower membacakan nomor demi nomor kasusnya jika ada 3000 kasus baru tiap harinya!


Mungkin saat melihat angka di televisi atau berita elektronik, “Ahhh, itu angka, mboh (=tak tahu) siapa yang kena.” Sampai pada Pak RW yang mengunggah berita di WAG bahwa warga RT sekian ada yang kena. Sampai pada WA kita berbunyi, “Tolong doakan, Kak X kena Covid-19 sekeluarga di Wisma Atlet.” Sampai pada suamiku tergopoh-gopoh di pagi hari sambil dengan wajah sedih, “Sahabatku, dipanggil pulang, Mum, Covid.” 

Yang tadinya JAUUUUUHHHH, itu cuma ANGKAAAAA, di WAG RW, lalu sudah ke inner circle kita, sekarang seperti ada di depan pagar rumah kita.

Mau kita bukakan pintu pagar? Engga, khan?


Jumat malam, saya berpartisipasi dalam acara Suara Sehat untuk Indonesia, kolaborasi dari Adiswara Gadjah Mada, Gerakan Pakai Masker, Pertamina Foundations, dan IAF. Hadir dan berbagi dengan sangat tulus Kak Rizka Moeslichan, penyintas Covid-19. Saya merinding, tersentuh, melongo. Kisahnya mengungkap sisi manusiawi kita. Betul, hati yang gembira adalah obat yang manjur. Mudahkah? Beliau bertutur jujur, “Tidak mudah!”. Menyangkal—gak percaya, nangis, mau ngamuk, apalagi saat beliau dirawat di rumah sakit, ayahanda tercinta berpulang. 


Banyak insight ditemukan, fakta-fakta dibuka. Faktanya apa saja? Diisolasi itu sangat tidak nyaman, OTG (Orang Tanpa Gejala) itu bisa ada di mana-mana, nyusahin keluarga, ada beberapa stigma “dihindari” untuk ex-penderita, butuh biaya yang tidak kecil, ada short-term memory loss. 


Dalam break-out room kecil, kami lanjutkan diskusi, bicara dari hati ke hati, mendengarkan suara teman-teman yang bergabung. Dan dalam kelompok kami, seorang ulama di pesantren pun masih menyuarakan adanya sekelompok masyarakat yang menyangkali adanya Covid-19, belum lagi adanya kebosanan menjalankan protokol kesehatan di komunitas. Menariknya lagi, bahkan seorang ibu dosen pengajar di perguruan tinggi yang menyuarakan nada yang sama. Sebuah tantangan untuk dihadapi. 


Akhirnya kami pun membahas APA YANG BISA KITA LAKUKAN, lagu apa yang bisa kita suarakan? 

Hal-hal kecil YANG BISA kita lakukan, lakukanlah! Dengan waktumu, dengan talentamu, dengan membuat lagu, dengan menyanyi, dengan berdonasi, dengan menulis, dengan selalu mengingatkan di pesan-pesan WAG-mu, dengan jabatanmu, dengan pengaruhmu.


Minimal, lakukanlah, PAKAI MASKER, CUCI TANGAN, JAGA JARAK, MAKAN SEHAT, OLAH RAGA.

MARI SALING JAGA, LINDUNGI KAMU dan AKU.

Mulai dari YANG KUBISA LAKUKAN.



My Simple Thought, 

27 September 2020

giokni@elevasi.id WA 0811-88-1610

www.elevasi.id


Comments

Popular posts from this blog

MAYA ANGELOU

MELAKUKANNYA DARI DEKAT

MAU JADI APA KITA NANTI SETELAH INI? (MJAKNSI?)