STASIUN TUGU
#yogyakartabercerita
#yogyakartabercerita2020
#ybc2020
#ybc2002
@yogyakartabercerita
@giokniwati
Stasiun Tugu
“V sixty, Arabica Temanggung, selamat menikmati Kak,” ucap ramah pemuda berjambang tipis itu. Senangnya hatiku dipanggil Kak padahal aku sudah seumur mamanya. “Makasih, Sam,” aku membaca pin yang menempel di T-shirt hitamnya. Wajah pemuda seusia anakku itu seperti menggelitik memori lama. Ahhh, ini pasti perasaanku yang mencoba mengait-aitkan. Faktanya aku sengaja terbang ke kota ini walau hanya punya waktu kurang dari 24 jam.
Aku mau menyimpan rasa nano-nano nostalgiaku ini lebih lama dalam bentuk tulisan. Kubuka MacBook Pro, jari mengetik dua kata “Stasiun Tugu”. Kedai kopi ini sengaja kupilih karena unik berdekorasi lokomotif. Letaknya sepelemparan batu saja dari Stasiun Tugu. Stasiun ini adalah tempat terakhir aku melihat wajahmu tersenyum tapi beku, tangan melambai tapi kaku.
Seminggu kemudian berita bahagia dari Kedutaan Australia sekaligus menjadi berita sedih bagi kita. Aku mendapat beasiswa Master of Social Work di Melbourne University. Aku sibuk dengan riset dan kerja praktik, kamupun sibuk dengan UKM-UKM binaanmu, blusukan. Long-Distance Relationship kita akhiri demi nama “menjawab panggilan”. Tidak ada tangis hanya gamang purnama demi purnama. Tak saling berkabar walau teknologi menghalau kendala. Media sosial bukan gaya hidup kita.
Layar putih di Note Mac-ku masih dua kata itu saja. Pikiranku sudah memutar bergulung-gulung film lawas.
“Kak, mau nyoba tempe bacem dan jadah? Baru diantar, masih hangat. Buatan UKM di belakang Pasar Kembang,” suara sopan Sam menyela tapi malah mengulik satu episode lain.
Ketan gurih dimakan bersama tempe bacem yang manis gurih plus cabe rawit. Aku ingat di dua surat terakhirmu, kamu kirim foto berdua Mbok Saryem penjual jadah di Pasar Beringharjo dengan tulisan iseng “Pacar baruku ;-) “
“Ohh.. jam berapa sekarang yaa?” sambil kutengok jam tangan.
“Sam, dibungkus aja, ya, dua.”
“Baik, Kak, buru-buru, Kak?”
“Hooh, saya perlu kejar pesawat ke Jakarta, bandaranya yang di Kulon Progo, jauh.”
GoCar yang hendak mengantarku cepat tiba, kubereskan barang-barang, bayar di kasir. Sekali lagi Sam tersenyum sambil menyerahkan bungkusan jadah dan tempe bacem, “Enjoy the flight, Kak.”
Saat membuka pintu mobil, kudengar suara lantang di belakang, “Samudera Pranataaaaa, telpon seko bapakmu.”
Aku freeze 5 detik, ingin memundurkan waktu, mengulang, menghubungkan titik demi titik dengan garis sehingga ada wujudnya lebih nyata. Ingin kugali informasi lebih banyak dari pemuda itu.
Ohhh, seandainya aku tidak mengejar penerbangan kembali ke Melbourne sebelum lockdown.
Aku abai pada petunjuk-petunjuk kecil. Kopi lokal, jajan UKM, jambang tipis, bentuk hidung, Sam yang adalah “Samudra”.
Parangtritis 27 tahun lalu, “Nantiiiii anak laki-laki kita, namakan Samudra,” kalimat dari laki-laki bernama Bayu Pranata.
Giokni-cintaku untuk Jogja kita-
foto LOKO Cafe: koleksi pribadi, Maret 2020
ilustrasi V60 coffee: iconfinder.com
ilustrasi kereta api: dodinsky.com
ilustrasi globe: kissclipart.com
Comments
Post a Comment